Jumat, 16 September 2016

PRODUKSI PERTANIAN DI DAERAH COMAL

BAB I
PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang Masalah
Bagaimana keadaan umum produksi pertanian di daerah Jawa Tengah, khususnya di daerah bekas Distrik Comal, pada awal abad ke-20. Sistem pengairan di daerah aliran sungai Comal pada umumnya sangat baik, 90% lebih dari lahan pertaniannya merupakan sawah berpengairan. Di daerah hilir Kali Comal seluruh lahan sawah dapat diairi secara serentak, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Akan tetapi, di bagian selatan Comal, lahan sawah hanya dapat diairi secara bergiliran, baik pada musim hujan maupun musim kemarau.
Ketika van Moll melaksanakan penelitian di daerah Comal, masih banyak lahan pertanian yang dikuasai masyarakat desa secara komunal. Sistem penguasaan tanah ini melahirkan dua kategori pemilikan tanah. Menurut pola dasar susunan masyarakat desa pada masa tersebut, warga resmi masyarakat desa terdiri dari orang-orang keturunan para pendiri desa (cikal bakal) dan hanya mereka yang berhak mengerjakan tanah komunal.
Setelah penelitian van Moll, produksi pertanian dan kodisi masyarakat desa di daerah Comal telah mengalami perubahan yang amat besar. Selama tahun 1920-an industri gula dan penanaman tebu di daerah ini telah mencapai masa puncak perkembangannya. Meskipun demikian, harga gula di pasaran internasional turun secara drastis di masa depresi tahun 1930-an dan produksi gula di daerah Comal juga sangat menurun di masa tersebut. Di samping itu, pendudukan tentara jepang dan revolusi kemerdekaan di tahun 1940-an sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan sosial ekonomi di daerah bekas Distrik Comal.


  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dibuat rumusan  masalah sebagai berikut :
1.     Bagaimana penggunaan dan pemilikan lahan pada masa van Moll ?
2.     Berapa biaya usaha tani dan keuntungannya pada masa itu ?
3.     Bagaimana hubungan kerja dan perubahan teknis pada tahap produksi ?

  1. Tujuan Makalah
             Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.     Untuk mengetahui penggunaan dan pemilikan lahan pada masa van Moll.
2.     Untuk mengetahui biaya usaha tani dan keuntungannya pada masa itu.
3.     Untuk mengetahui hubungan kerja dan perubahan teknis pada tahap produksi.










BAB II
PEMBAHASAN



  1. Penggunaan dan Pemilikan Lahan Pada Masa van Moll
Pada masa tersebut dari buku laporan van Moll. Data pada table 1 berasal dari daftar data tingkat desa yang terlampir pada jilid 2 buku laporan van Moll. Menurut data ini, 8.050 hektar (50%) lahan di daerah Comal merupakan lahan pertanian, 3.274 hektar (20%) lahan pekarangan dan kebun, dan 1.351 hektar (8%) lahan lain, seperti jalan. Akhir tahun 1904  distirk Comala, pada lahan beririgasi, lebih dari 80% digunakan untuk padi, sedangkan sisanya (20%) digunakan untuk penanaman tebu. Namun demikian, pengaruh produksi tebu terhadap penggunaan lahan di daerah ini ternyata lebih besar dari yang terbayang dalam angka tersebut.
Pada masa itu, padi sudah merupakan tanaman pokok selama musim hujan. Oleh karena itu, tanaman palawija pada umumnya dihasilkan pada musim kemarau sebagai kelanjutan dari penanaman padi atau penanaman tebu. Jenis tanaman palawija terpenting diantaranya jagung, ubi kayu, ketela rambat, bengkuang, kedelai, kacang tanah, dan sebagainya.
Dipandang dari segi sejarah, pada masa tersebut, produksi pertanian dan masyarakat desa di daerah Comal sedang mengalami perubahan yang sangat drastis.   Perubahan ini diakibatkan oleh pertumbuhan industri gula, perluasan penanaman tebu, dan proyek pengairan Kali Comal Pemerintah Hindia Belanda yang berkaitan erat dengan perkembangan industri gula. Penyelesaian proyek pembangunan tersebut pada 1906, sangat berpengaruh pula terhadap produksi tanaman pangan dan kehidupan petani di daerah ini.
Perluasan penanaman tebu menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan lahan untuk produksi pada yang menimbulkan berbagai konflik sosial antara pabrik gula dan petani setempat. Untuk meringankan ketegangan seperti itu, diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan tanah melalui pembangunan fasilitas pengairan, perbaikan mutu lahan, dan sebagainya. Hal-hal demikian menjadi masalah pokok yang harus diselesaikan demi perkembangan daerah industri gula.
Di adakan perluasan lahan sawah didaerah distrik Comal selama satu abad mulai tahun 1830. Meskipun produksi padi meningkat karena perluasan sawah tersebut, tetapi jumlah penduduk di daerah ini juga sangat bertambah. Akibatnya, luas areal sawah per kapital penduduk sangat menurun. Sementara itu, luas penanaman tebu mulai meloncat sejak akhir abad ke-19 dari 334 hektar pada 1890, kemudian 775 hektar pada 1900, sampai 1.670 hektar pada 1920. Setelah perluasan lahan sawah tersebut, proses pembukaan lahan pertanian baru hamper berhenti pada akhir abad ke-19, karena cadangan tanah liar di wilayah distrik Comal sudah habis. Dampaknya, jumlah rumah tangga tidak bertanah mulai bertambah sejak awal abad ke-20.
Ketika van Moll melaksanakan penelitian di daerah Comal, masih banyak lahan pertanian yang dikuasai masyarakat desa secara komunal. Sistem pengusaan tanah ini melahirkan dua kategori pemilikan tanah, yaitu tanah komunal dan tanah  perorangan. Pada umumnya, penguasaan tanah secara komunal merupakan sistem baku dalam penguasaan lahan pertanian pada masa tersebut. Sedangka tanah hak perorangan (yasan) adalah lahan pertanian baru yang dibuka oleh seseorang dan biasanya terletak di pinggiran wilayah desa. Oleh karena itu,kadang kala sistem pengairan tanah yasan ini tidak baik atau sering terrkena banjir pada musim hujan.
Penguasaan tanah komunal ini dibagikan kepada setiap rumah tangga yang menjadi warga masyarakat desa, karena mereka merupakan unit usaha untuk mengerjakan tanah tersebut. Pada zaman van Moll terdapat tiga macam cara pembagian tanah, yaitu :
a)             Masing masing rumah tangga setiap tahun mendapat bagian yang berbeda. Cara pembagian tahunan ini dilaksanakan di 22% areal tanah komunal;
b)             Masing-masing rumah tanga mendapat bagian berbeda setiap dua tahun atau lebih. Cara pembagian ini berlaku untuk 41% luas areal tanah komunal;
c)             Masing-masing rumah tangga mendapat bagian tanah tetap semasa hidup kepala rumah tangganya atau selama tidak terjadi sesuatu yang mengharuskan adanya pembagian kembali tanah komunal kepada warga masyarakat desa. Sistem bagian tetap ini diterapkan untuk 37% luas tanah komunal.  

  1. Biaya Usaha Tani dan Keuntungannya
’s Jacob dan van Moll menguraikan hubungan antara biaya dan keuntungan produksi padi. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa pemilik tanah besar memakai banyak tenaga buruh untuk usaha taninya. Sedangkan usaha petani kecil lebih tergantung pada tenaga keluarga sendiri. Keaneragaman usaha tani tersebut meyebabkan kesulitan untuk mengukur biaya dan keuntungan dalam proses produksi padi.
Faktor utama dalam perhitungan biaya produksi padi ialah nilai imbalan jasa kerja, yaitu upah buruh dan imbalan untuk tenaga keluarga sendiri, karena sarana produksi seperti pupuk, obat-obatan atau mesin belum dipakai pada masa penelitian van Moll. Adapun tingkat upah buruh, di daerah Comal ada beberapa macam standar, satu di antaranya ialah imbalan kepada buruh tetap yang terus dipakai selama satu musim tanam (6 bulan). Pemilik tanah besar memakai buruh tetap semacam ini rata-rata satu orang untuk setiap tiga bau sawah. Pada kasus ini, seorang buruh diberi imbalan sebagai berikut :
a)      Tujuh pikul (= 432 kg) padi setelah panen atau uang muka senilai satu gulden untuk sepikul padi.
b)      Setiap hari disediakan tiga kali makan di sawah. Bekal ini bernilai 2 kati (= 1,2 Kg) beras.
c)      Setiap hari diberi rokok senilai satu sen dan makanan ringan, juga senilai satu sen.
d)     Pakaian kerja yang terdiri dari celana pendek (katok), baju, dan topi.
e)      Sebuah cangkul (pacul)
Apabila  memakai buruh tetap semacam ini, dipakai pula seorang buruh wanita untuk mempersiapkan makanan dan membawanya ke sawah. Buruh wanita ini diberi upah 3,75 gulden per bulan.

Jenis tenaga buruh lain dalam produksi padi ialah buruh harian yang dipakai untuk setiap tahap kerja. Banyaknya tenaga dan tingkat upah rata-rata mereka menurut jenis kerja dihitung sebagai berikut :
1)      Untuk menyebar benih di persemaian diperlukan dua orang laki-laki per bau sawah. Mereka mendapat fasilitas dua kali makan, teh, rokok, sirih dan lain-lain. Semuanya bernilai 17 sen per orang.
2)      Untuk mencangkul diperlukan 10 orang laik-laki per bau sawah. Mereka menerima upah 10 sen per hari per orang, ditambah fasilitas sekali makan dan rokok yang bernilai satu sen.
3)      Untuk memungut, mengikat, mengangkut, dan membagikan semaian padi, diperlukan 7 orang laki-laki per bau sawah. Mereka menerima satu sen upah per 10 ikatan semaian dan dua kali makan.
4)      Untuk mengikat, mengeringkat, dan menyimpan padi yang sudah dipanen, diperlukan beberapa orang. Mereka menerima upah bagi dan fasilitas sekali makan setiap hari (van Moll & ’s Jacob 1913: 30-31).
Meskipun bentuk upah atau imbalan sangat bervariasi menurut jenis kerja, upah rata-rata pada proses produksi padi dapat dihitung 10 sen per hari ditambah sekali makan dan rokok senilai satu sen. Secara keseluruhan upah harian ini bernilai 12 atau 12,5 sen per orang per hari.
Untuk tenaga keluarga, tidak terdapat standar pengupahan tertentu. Menurut kebiasaan metode ilmu ekonomi pertanian, taraf upah buruh diterapkan pula untuk menghitung nilai tenaga keluarga yang ternyata tidak diupah. Namun demikian ’s Jacob memakai biaya hidup minimum sebagai standar untuk mengukur nilai tenaga keluarga petani. Menurut perhitungannya, biaya hidup keluarga seorang petani rata-rata bernilai 25 sen per hari. Oleh karena itu, menurut asumsi ’s Jacob, standar biaya pemakaian seorang tenaga keluarga dengan 5,5 jam kerja untuk pengolahan sawah dan 7 jam kerja untuk jenis kerja lain juga bernilai 25 sen.
Dengan demikian  angka-angka tersebut dapat diperkirakan bahwa pengeluaran dan penerimaan usaha tani padi selama satu tahun (dua kali panen) sebagai berikut;  karena rata-rata hasil produksi padi per hektar tercatat 39,3 pikul (2.426kg) pada musim hujan dan 34,4 pikul (2.123kg) pada musim kemarau dengan nilai 2,5 gulden/kg, maka penerimaan kotor usaha tani dihitung 184 gulden per tahun. Setelah dipotong dua kali biaya tersebut, 111 gulden untuk usaha tani yang memakai tenaga hewan atau 128 gulden untuk usaha tani yang memakai tenaga manusia, penerimaan bersih diperkirakan 73 gulden (jika memakai tenaga hewan) atau 56 gulden (tanpa tenaga hewan).
Di bawah ini diuraikan usaha tani yan memakai tenaga buruh upahan dengan asumsi taraf upah mereka senilai 10 sen ditambah sekali makan dan rokok. Dalam uraian ini dianggap upah buruh dibayar harian meskipun dalam kenyataan ada usaha tani yang memakai buruh tetap.
Apabila upah buruh dihitung 12,5 sen per hari maka pengeluaran biaya mencapai separuh dari usaha tani yang hanya memakai tenaga keluarga. Jumlahnya 42 gulden untuk sekali tanaman atau 84 gulden per tahun. Apabila biaya ini dipotong dari penghasilan kotor senilai 184 gulden maka pendapatan bersih mereka menjadi 100 gulden. Dengan kata lain, pendapatan mereka rata-rata 40% lebih tinggi dari pendapatan pemilik sawah yang seluruh sawahnya digarap orang lain melalui perjanjian maro.
Dari uraian-uraian tersebut dapat dikemukakan perbandingan keuntungan per hektar dari masing-masing jenis usaha tani, sebagai berikut :
1)             Petani yang memiliki kerbau dan memakai tenaga buruh untuk seluruh tahap kerja mendapat keuntungan 100 gulden per tahun. Jenis usaha tani ini boleh disebut ”petani pengusaha”
2)             Pemilik tanah yang seluruh sawahnya digarap orang lain melalui perjanjian maro mendapat keuntungan 72 gulden per tahun, sedangkan pihak penggarap mendapat 64 gulden.
3)             Petani pemilik yang mengerjakan sawahnya dengan tenaga  keluarga sendiri, kecuali buruh tanam dan panen padi, mendapat keuntungan rata-rata 138 gulden per tahun. Namun demikian, luas usaha mereka rata-rata 0,53 hektar saja sehingga pendapatan mereka jauh lebih rendah dari angka tersebut.
Sementara itu, pendapatan buruh tani bergantung pada banyaknya hari kerja. Walaupun diasumsikan mereka bekerja 230 hari per tahun, pendapatan mereka hanya 29 gulden.

  1. Hubungan Kerja dan Perubahan Teknis Pada Tahap Produksi
Perubahan macam apa yang pernah terjadi sejak zaman van Moll dalam pola dan hubungan kerja produksi padi di daerah ini? Bagaimana pengaruh pelaksanaan ”revolusi hijau” terhadap cara produksi padi? Di bawah ini masalah tersebut akan dibahas untuk setiap tahap kerja sekaligus diperhatikan pula perbandingannya dengan produksi padi di Jepang.

1)      Persiapan benih padi
Sebagaimana sudah dijelaskan, pada masa sekarang pilihan jenis padi yang dapat dipakai petani jauh lebih terbatas dari zaman van Moll. Penelitian ini tidak dapat mengumpulkan informasi rinci tentang proses introduksi setiap jenis padi unggul (HYV) dan pola tingkah laku para petani dalam pemilihan jenis padi. Bagaimanapun juga, prakarsa pihak pemerintah dalam proses introduksi jenis padi jauh lebih kuat daripada zaman Moll.

2)      Persemaian
Secara garis besar tidak ada perubahan berarti sejak zaman van Moll dalam bentuk lahan persemaian dan proses persiapannya dengan bajak atau cangkul. Pekerjaan ini pada umumnya dilakukan dengan tenaga keluarga.

3)      Pengolahan lahan
Tidak terjadi perubahan besar dalam pola kerja, seperti pada tahap membajak, menyisir, membuat pematang, mencangkul, dan sebagainya. Pada umumnya pengolahan sawah tetap tergantung pada tenaga kerbau seperti di zaman van Moll, meskipun sebagian petani mulai memakai traktor. Akan tetapi, dari segi susunan tenaga kerja telah terjadi perubahan yang mencolok.

Pekerjaan membajak  dengan tenaga kerbau biasanya dilakukan mulai pukul 06.00-11.00 kemudian diteruskan lagi mulai pukul 14.00-17.00. waktu kerja ini hampir tidak berubah sejak zaman van Moll. Upah untuk pekerjaan membajak  atau me-nyisir dibayarkan dengan sistem borongan. Tingkat upah rata-rata antara Rp. 16.000-20.000 per bau (=0,7 hektar).

Tersebarnya pekerja upahan pada tahap tersebut merupakan prasyarat untuk introduksi mesin traktor sebagai pengganti tenaga kerbau. Sebagaimana sudah dijelaskan, di kedua desa penelitian sudah ada petani yang mengontrak pekerjaan ini kepada pemilik traktor. Traktorisasi pernah terjadi juga di jepang pada 1950 dan 1960-an, tetapi pola introduksi dan penyebarannya berbeda dengan jawa. Di pedesaan jepang setiap keluarga petani membeli traktor (cultivator menurut istilah di Jepang) sebagai pengganti tenaga hewan. Sedangkan di Jawa hanya pedagang atau petani kaya saja yang mampu membeli traktor. Mereka memakai mesin itu untuk pekerjaan kontrak dengan petani biasa.

Pekerjaan kontrak semacam ini tidak mungkin menyebar jika tidak membawa keuntungan yang memadai. Di daerah penelitian, tingkat upah kontrak traktor jauh lebih murah daripada upah kontrak dengan pemelihara kerbau. Hal ini terjadi karena pemeliharaan traktor tidak membutuhkan banyak waktu dan keterampilan khusus. Lagi pula, masa kerjanya tidak terbatas seperti kerbau. Oleh karena itu, kemungkinan besar di masa mendatang pemakaian traktor untuk mengolah sawah akan semakin luas.

4)      Pemungutan dan penanaman semaian
Sampai sekarang sebagian besar pekerjaan ini dilaksanakan oleh tenaga wanita. Lagi pula, hampir tidak ada petani yang menyelesaikan tahap kerja ini hanya dengan tenaga keluarga sendiri.

5)      Pemupukan dan pencegahan hama
Berbeda dengan zaman van Moll, kini hampir semua petani terbiasa memakai pupuk kimia dan obat-obatan. Di pedesaan Jepang, petani sudah lama memakai banyak pupuk alam, seperti ampas kedelai, sebelum introduksi pupuk kimia buatan pabrik.

6)      Pengairan
Terkecuali di beberapa tempat sawah tadah hujan, keadaan pengairan di daerah ini cukup memadai baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. Persedian air di setiap petak sawah juga lebih stabil dari pada zaman van Moll. Pengaturan persedian air di setiap petak sawah dilakukan masing-masing keluarga petani.

7)      Penyiangan
Sebagian besar petani menyiangi sawaah dua kali, yaitu sebulan sebelum dan dua bulan setelah menanam padi. Namun, ada pula petani yang menyiangi sawahnya sampai tiga kali. Pekerjaan ini dilakukan oleh tenaga keluarga ditambah tenaga buruh, tetapi ada juga petani yang hanya memakai tenaga buruh.
8)      Pengawasan tanaman
Ada perbedaan besar di antara keluarga petani dalam cara pengawasan tanaman padi menjelang panen. Ada yang sering pergi ke sawah untuk tujuan tersebut, ada pula yang jarang berbuat demikian. Pada penelitian, kami tidak menemui petani yang membangun dangau di pinggir sawah seperti dicatat laporan van Moll. Pengawasan tanaman selalu dilakukan oleh tenaga keluarga sendiri.

9)      Pemotongan padi dan proses pascapanen
Sebagaimana sudah diterangkan, pada zaman van Moll pekerjaan panen padi dilakukan menurut sistem tradisional (derepan). Setiap peserta panen mendapat bagian hasil padi menurut proporsi tertentu (bawon). Apakah telah terjadi perubahan dalam lembaga kerja ini setelah timbulnya ”revolusi hijau”? Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai perubahan proses kerja panen sendiri.















BAB III
PEUTUP



  1. Kesimpulan
Masih banyak lahan pertanian yang dikuasai masyarakat desa secara komunal. Sistem pengusaan tanah ini melahirkan dua kategori pemilikan tanah, yaitu tanah komunal dan tanah  perorangan. Pada umumnya, penguasaan tanah secara komunal merupakan sistem baku dalam penguasaan lahan pertanian pada masa tersebut. Sedangka tanah hak perorangan (yasan) adalah lahan pertanian baru yang dibuka oleh seseorang dan biasanya terletak di pinggiran wilayah desa. Faktor utama dalam perhitungan biaya produksi padi ialah nilai imbalan jasa kerja, yaitu upah buruh dan imbalan untuk tenaga keluarga sendiri, karena sarana produksi seperti pupuk, obat-obatan atau mesin belum dipakai pada masa penelitian van Moll. Adapun tingkat upah buruh, di daerah Comal ada beberapa macam standar, satu di antaranya ialah imbalan kepada buruh tetap yang terus dipakai selama satu musim tanam (6 bulan).
  1. Saran
Setalah dianalisis buku Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern dengan tema judul Produksi Pertanian didaerah Comal, dan makalah ini dibuat oleh penulis dengan segala kemampuan dan keterbatasan, maka dari itu,penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan sehingga untuk mencapai kesempurnaan itu diharapkan agar pembaca dapat memberi saran dan kritik untuk membangun dan sempurnanya makalah ini. Dengan sepenuh hati, penulis memohon kepada Allah semoga makalah ini bisa bermanfaat buat pembaca serta penulis bahkan kepada khalayak umum. Akhirnya saya ucapkan terimakasih banyak atas saran dan kritiknya semoga makalah ini bisa bermanfaat.


DAFTAR PUSTAKA


Biro Pusat Statistik
    1992. Statistik Indonesia 1991. Jakarta: Biro Pusat Statistik.

Kano, Hiroyoshi. dkk. 1996. Di Bawah Asap Pabrik Gula. Masyarakat Desa di   
    Pesisir  Jawa Sepanjang Abad ke-20. Yogyakarta: Gajah Mada  University Press.




PROSES ISLAMISASI DI JAWA SEJAK MASA PASCA KERUNTUHAN MAJAPAHIT

MAKALAH


PROSES ISLAMISASI DI JAWA SEJAK MASA PASCA
KERUNTUHAN MAJAPAHIT


Mata Kuliah            : Konsep Teori dan Pemikiran Pendidikan IPS
Dosen Pengampu    : Prof. Dr. Djoko Suryo










Disusun Oleh:
SUDAWAN SUPRIADI
NPM : 15155140015




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPS
FAKULTAS PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2016





BAB I
PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang Masalah
Perluasan islam di  nusantara pada abad ke 14-15 menandai masa terjadinya pergeseran kehidupan ke agamaan dan budaya masyarakat di kepulauan nusantara dari kebudayaan hindu-budha ke arah kebudayaan  islam. Masa persegeran pada abad itu menjelaskan bahwa nusantaratelah masuk kedalam masa transisi atau ”persimpangan jalan” (cross-road). Pergeseran sosial-keagamaan yang terjadi pada masa itu pada hakekatnya diperkuat, paling tidak, oleh empat kecenderungan perubahan penting.
Proses islamisasi di jawa pada dasarnya dapat dilihat dari perspektif perjuangan antara proses memudarnya kekuasaan sentral Kerajaan Majapahit dan merosotnya pendukung Hindu-Budha di Jawa pada satu pihak, dan daerah pantai yang semula menjadi wilayah kekuasaannya mengalami proses islamisasi secara kuat, pada pihak lain. Bagi penguasa daerah pantai, kepercayaan baru, yaitu islam, menjadi senjata ideologi yang mantap, dan sumber finansial dari perdagangan islam yang dikuasainya, telah mempertegas legitimasi kekuasaannya untuk melepaskan diri dari pemerintahan pusat yang telah memudar. Selain itu guru-guru agama dan penulis kitab agama, kyahi, dan ulama telah terbentuk dari masa awal sebagai suatu unsur sosial yang khas dilingkungan masyarakat nusantara.
Masa transisi  dari zaman hindu-budha ke zaman islam yang diikuti dengan masa terjadinya proses islamisasi di jawa pada abad ke 14-15, ditandai pula dengan kelahiran tokoh orang-orang terkemuka yang berkedudukan tinggi baik sebagai pemimpin agama, guru agama, mubalig, ulama, kyahi maupun sebagai kaum intelektual muslim yang berperan sebagai pemuka penyebar ajaran islam di jawa diebut sebagai wali dan lebih dikenal dengan sebutan wali songo.
Apabila wali songo bersama dengan  istana kerajaan islam pada abad ke 15-16 menjadi pemegang peran penting dalam proses islamisasi pada masa itu, maka pada masa berikutnya pesantren bersama para ulama dan kyai di jawaa menjadi penerus peran tersebut yang paling utama.

  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dibuat rumusan  masalah sebagai berikut :
1.     Bagaimana Nusantara dalam Masa Transisi : Dari Hindu-Budha ke Islam Abad XIV-XV ?
2.     Bagaiamana Proses Islamisasi di Jawa ?
3.     Bagaimana Wali Songo : Kedudukan dan Perannya dalam Proses Islamisasi ?
4.     Bagaiamana Pesantren : Penerus Pusat Islamisasi dari Masa Kolonial sampai Masa Kini ?

  1. Tujuan Makalah
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.     Untuk mengetahui Nusantara dalam Masa Transisi : Dari Hindu-Budha ke Islam Abad    XIV-XV.
2.     Untuk mengetahui Proses Islamisasi di Jawa.
3.     Untuk mengetahui Wali Songo : Kedudukan dan Perannya dalam Proses Islamisasi.
4.     Mengenal lebih dalam Pesantren : Penerus Pusat Islamisasi dari Masa Kolonial sampai Masa Kini.


BAB II
PEMBAHASAN



  1. Nusantara dalam Masa Transisi : Dari Hindu-Budha ke Islam Abad XIV-XV
Pergeseran sosial-keagamaan yang terjadi pada masa itu pada hakekatnya diperkuat, paling tidak, oleh empat kecenderungan perubahan penting.  Pertama, kecenderungan pergeseran rute perdagangan maritim dan zona-zona perdagangan maritim di Asia Tenggaran dari zona lama ke zona-zona baru , yang terjadi pada abad ke 14-15. Kedua, kecenderungan terjadinya kemunduran dan keruntuhan pusat-pusat politik tradisi besar hindu-budha dan merosotnya proses hinduisasi. Ketiga, kecenderungan terjadinya kelahiran pusat-pusat politik baru di bawah pengaruh tradisi besar islam yang berorientasi pada kehidupan maritim. Keempat, munculnya pusat-pusat tradisi besar islam di berbagai tempat di kepulauan nusantara tersebut sekaligus telah menjadi pusat penyebaran islam di wilayah sekitarnya.
Zona-zona perdagangan maritim yang berpusat pada wilayah perairan bagian utara semenanjung Melayu, perairan sekitar laut jawa, perairan selat malaka dan perairan sekitar laut sulu telah berkembang sejak abad ke-2 sampai abad ke-13. Pada abad ke 14-15 zona perdagangan di sekitar wilayah zona tersebut, termasuk wilayah pantai utara jawa.
Sementara itu, terbentuknya jaringan perdagangan antara wilayah nusantara dengan wilayah asia timur, telah menjadikan pelancong, pedagang dan migran cina atau tionghoa datang ke daerah kepulauan nusantara, termasuk pedagang atau orang-orang tionghoa muslim ke jawa. Keruntuhan kerajaan hindu majapahit pada akhir abad  ke 15 telah memberikan keleluasaan kelahiran kerajaan-kerajaan islam Malaka (abad ke-15), Demak (abad ke-15), Cirebon, Banten, dan kerajaan islam lainnya di nusantara, di antaranya Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku.
Pergeseran orientasi budaya hindu-budha ke budaya islam, pada hakekatnya berlangsung sejak abad ke 14-15 secara alami dan melalui proses transisional. Representasi pergeseran orientasi keagamaan dan tradisi-tradisi besarnya yang terjadi pada masa itu, nampak baik dalam representasi wujud budaya fisik maupun non fisik, yang sebagian telah menjadi bahan kajian sejarah, arkeologi, bahasa, sastra dan seni.
Ada empat teori yang menjelaskan persoalan proses islamisasi di wiyalah kepulauan indonesia yakni pertama, teori yang menyebutkan bahwa islam masuk keindonesia dari tanah arab lewat india. Kedua, teori yang mengatakan bahwa islam masuk keindonesia dari arab lewat persia. Ketiga, islam masuk ke indonesia dari arab lewat persia, kemudian masuk ke cina dan baru kemudian ke indonesia. Teori terkahir menyatakan islam masuk ke indonesia secara langsung di bawa oleh pembawanya dari tanah arab. Salah satu yang menarik di sini ialah adanya teori yang menyebutkan bahwa wilayah cina telah menjadi salah satu jalur masuk islam ke indonesia.

  1. Proses Islamisasi di Jawa
Proses Islamisasi di Jawa pada dasarnya dapat dilihat dari perspektif perjuangan antara proses memudarnya kekuasaan sentral kerajaan Majapahit dan merosotnya pendukung Hindu-Buddha di Jawa pada satu pihak, dan daerah pantai yang semula menjadi wilayah kekuasaannya mengalami proses Islamisasi secara kuat, pada pihak lain. Bagi para penguasa daerah pantai, kepercayaan baru, yaitu islam, menjadi senjata ideologi yang mantap, dan sumber finansial dari perdagangan islam yang dikuasainya, telah mempertegas legitimasi kekuasaannya untuk melepaskan diri dari pemerintahan pusat yang telah memudar. Selain itu guru-guru agama dan penulis kitab agama, kyahi, dan ulama telah terbentuk dari masa awal sebagai suatu unsur sosial yang khas dilingkungan masyarakat nusantara.
Bukti pertama tentang telah adanya pemeluk islam di jawa terutama ditunjukkan melalui temuan beberapa batu nisan islam yang ditemukan di Leran Jawa Timur, yang berangka tahun AD 1082, dan ditanah perkuburan Trowulan dan Troloyo yang terletak di dekat situs istana kerajaan Majapahit. Pada nisan tersebut tertulis anatar lain beberapa kutipan ayat-ayat Al-Qur’an. Ricklefs menyimpulkan bahwa batu nisan itu memberikan petunjuk bahwa sejumlah anggota keluarga elite kraton telah memeluk agama islam pada masa Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pada abad ke 14-15 proses islamisasi di wilayah Jawa Timur telah mulai meluas, dan masuk ke wilayah pusat kerajaan.
Gambaran tentang proses islamisasi di jawa juga dapat disimak melalui karya-karya ajaran Tasawuf islam atau mistik islam dari pesisir utara jawa dari awal abad ke-16, seperti yang termuat dalam kitab primbon, kitab bonang, dan ajaran seh bari, yang diantaranya telah dikaji oleh G.W.J Drewes. Gambaran tentang hal sama dapat disimak dalam berbagai karya-karya babad dan serat, seperti babad tanah jawi dan serat cabolek.
Sebagaimana yang terjadi di daerah nusantara lainnya, fase-fase islamisasi di jawa pada hakekatnya juga dapat dilacak melalui fase-fase jenis perkembangan aliran ajarannya. Fase pertama pada 1200-1400, ajaran fiqih memegang peranan penting dalam penyebaran islam. Fase kedua, yaitu pada 1400-1700, selain masih terus berlangsungnya ajaran fase pertama, tetapi ajaran mistik dan tasawuf tampak berperan dan mengemuka. Pada fase ketiga, sejak 1700, ajaran kedua fase tersebut bersama-sama melangsungkan eksitensinya.

  1.  Wali Songo : Kedudukan dan Perannya dalam Proses Islamisasi
Kedudukan dan fungsi wali sebagai pemimpin agama dan penasehat pemerintahan yang sangat penting dalam masyarakat islam di jawa pada masa itu, tokoh wali dipandang sebagai ”orang suci” atau Keramat (saint) yang harus dihormati dan dipatuhi segala ajaran dan petunjuknya. Di duga atas kedudukan dan fungsinya yang sangat tinggi itu para tokoh wali dijawa mendapat gelar Sunan di depan namanya (susuhunan, suhun – jw – berarti dijunjung tinggi atau disembah) yang kurang lebih berarti sebagai orang yang dijunjung tinggi atau dihormati.
Mengapa kemudian lebih dikenal dengan sebutan wali songo, tidak terdapat penjelasan yang pasti dalam literatur jawa. Namun, diduga angka sembilan dipilih atas anggapan bahwa angka tersebut memiliki nilai keramat menurut pandangan kebudayaan jawa tradisional. Dapat disimpulkan bahwa pada masa itu pada hakekatnya terdapat dua kelompok wali di jawa, yaitu wali pada tingkat atas yaitu mereka yang tergabung dalam wali songo, dan wali  pada tingkat lokal atau daerah.  Golongan pertama merupakan kelompok wali yang memiliki peran dan fungsi yang lekat dengan pusat pemerintahan kerajaan islam, seperti Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Mereka secara fungsional menjadi penasehat Sultan atau Raja, bahkan kadang-kadang ikut terlibat dalam dinamika politik kerajaan. Hubungan mereka dengan raja dan pusat politik sangat dekat. Tidak heran apabila Wali Songo kemudian memang menjadi lebih populer di seluruh wilayah Jawa. Sementara tokoh Wali lokal, sesuai dengan terbatasnya jangkauan fungsi dan perannya, lebih dikenal di daerahnya saja.
Secara   konvensional tokoh Wali Songo yang menduduki posisi sentral dalam Kerajaan Islam di Jawa tersebut diatas antara lain sebagai berikut.
1)        Sunan Ngampel atau Raden Rahmat, dimakamkan di Ampel Suarabaya.
2)         Malik Ibrahim atau Maulana Magribi, dimakamkan di gresik.
3)        Sunan Giri atau Raden Paku, dimakamkan di Giri dekat Gresik.
4)        Sunan Drajat, putra Sunan Ngampel, dimakamkan di Sedayu Lawas.
5)        Sunan Bonang atau Makdum Ibrahim, putra Sunan Ngampel lainnya, yang kemungkinan lahir di Bonang Wetan dekat Rembang, wafat di Tuban
6)        Sunan Kudus, putra Sunan Ngudug, terkenal sebagai komandan prajurit Demak ketika menyerang Majapahit (1378). Ketika ayahnya meninggal, ia menggantikannya.
7)        Sunan Murya, termasuk seorang prajurit Demak yang ikut menyerang Majapahit yang kemudian menjadi ulama, dan ketika wafat dimakamkan di sebuah bukit di Gunung Murya.
8)        Sunan Kalijaga, yang juga dikenal sebagai Seda Lepen atau Jaka Sahid, disebut-sebut pernah menjadi Bupati dari Majapahit yang menyerang Jepara. Atas usaha Sunan Bonang telah menjadikan Jaka Sahid menjadi pengikutnya sebagai seorang Muslim tangguh, dan ia kawin dengan anak putri Sunan Gunung Jati. Atas permintaan Sultan Trenggana, Raja Demak. Sunan Kalijaga tinggal di Kadilangu sampai wafatnya.
9)        Sunan Gunung Jati, disebut-sebut berasal dari Pasai, kawin dengan saudara perempuan Sultan Trengana. Ia menaklukan Cirebon dan Banten. Disebut-sebut ia pernah memerintah di Kesultanan Cirebon. Ketika wafat dimakamkan di Gunung Jati, Cirebon.
Uraian diatas menjelaskan bahwa kedudukan kesembilan wali tersebut sangat tinggi, kuat dan  istimewa, selain sama-sama sebagai wali, mereka juga terjalin dalam ikatan hubungan vertikal dengan penguasa kerajaan tempat mereka berperan sebagai penasehat pemerintahan, tetapi mereka sekaligus secara horisontal terjalin dalam hubungan keluarga dan kekerabatan melalui perkawinan.  

  1. Pesantren : Penerus Pusat Islamisasi dari Masa Kolonial sampai Masa Kini
Sejumlah pesantren berdiri di sekitar dan diluar Kraton Mataram, terutama sejak pasca Pemerintahan Sultan Agung pada abad ke-17. Salah satu pesantren terkemuka berdiri di daerah tegal sari, terkenal bernama Pesantren Gebangtinatar di bawah asuhan Kyai Agung Kasan Besari, di dekat Panaraga. Pada abad ke-19 kedudukan pesantren meningkat menjadi lebih sentral tidak saja menjadi pusat Islamisasi, tetapi juga menjadi pusat beteng pertahanan rakyat orang pribumi terhadap ancaman kekuasaan pemerintah kolonial.
Peran pesantren semakin meningkat pada masa pergerakan nasional, yaitu pada periode 1900-1945, termasuk pada masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Lebih-lebih pada masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1950), pesantren di Jawa Timur, jawa Tengah dan Jawa Barat memiliki andil besar terhadap perjuangan Republik Indonesia. Kedudukan pesantren tetap tidak surut, sekalipun pendidikan modern telah meluas, terutama sejak pasca revolusi (1950-an) hingga masa kini, keterlibatan berbagai pesantren di Jawa Timur pada masa revolusi dan masa tahun 1960-an dalam perjuangan bangsa, merupakan salah satu contoh penting untuk dicatat dalam Sejarah Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri, pesantren sebagai warisan budaya masyarakat indonesia, masih tetap memiliki tempat di masyarakat indonesia, sebagai modal sosial-budaya bangsa yang tangguh yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Hal yang menarik untuk disimak bahwa Jawa Timur yang pernah menjadi pusat Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit pada abad ke 13-15, kini menjadi salah satu pusat pendidikan pesantren terpenting di Indonesia. Ini merupakan suatu fenomena sosio-kultural dan historis penting dan unik dalam sejarah masyarakat Indonesia yang perlu digali dan dikaji untuk dipahami maknanya bagi masyarakat Indonesia pada masa kini.








BAB III
PEUTUP



  1. Kesimpulan
Uraian singkat di atas menjelaskan bahwa peran wali songo dan lembaga pesantren dalam Sejarah Jawa dan Sejarah Islam di Indonesia sangat penting.  Keunikan dan keistimewaan Sejarah Wali dan pesantren dalam Historiografi Jawa dan Historiografi Indonesia menuntut perlunya kajian yang mendalam mengenai periode transisi abad ke 14-15 untuk dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai proses Islamisasi di Jawa dan Indonesia. Semoga pembahasan tentang Islamisasi di Jawa dan di daerah Jawa Timur  bermanfaat bagi kita semua.

  1. Saran
Dari analisis buku Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern dengan tema judul Proses Islamisasi di Jawa Sejak Masa Pasca Keruntuhan Majapahit masih ada beberapa sumber data yang masih kurang banyak dikaji dalam buku tersebut, dan makalah ini dibuat oleh penulis dengan segala kemampuan dan keterbatasan, maka dari itu,penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan sehingga untuk mencapai kesempurnaan itu diharapkan agar pembaca dapat memberi saran dan kritik untuk membangun dan sempurnanya makalah ini. Dengan sepenuh hati, penulis memohon kepada Allah semoga makalah ini bisa bermanfaat buat pembaca serta penulis bahkan kepada khalayak umum. Akhirnya saya ucapkan terimakasih banyak atas saran dan kritiknya semoga makalah ini bisa bermanfaat.


DAFTAR PUSTAKA

Suryo, Djoko. 2009. Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.

Ricklefs, M.C.A History of  Modern  Indonesia, since c. 1200. Edisi
Ketiga. Houndmills, etc., Palgrave, 2001.





PROSES ISLAMISASI DI JAWA SEJAK MASA PASCA KERUNTUHAN MAJAPAHIT

MAKALAH PROSES ISLAMISASI DI JAWA SEJAK MASA PASCA KERUNTUHAN MAJAPAHIT Mata Kuliah            : Konsep Teori dan Pemikiran...