BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Bagaimana keadaan umum produksi pertanian di daerah
Jawa Tengah, khususnya di daerah bekas Distrik Comal, pada awal abad ke-20.
Sistem pengairan di daerah aliran sungai Comal pada umumnya sangat baik, 90%
lebih dari lahan pertaniannya merupakan sawah berpengairan. Di daerah hilir
Kali Comal seluruh lahan sawah dapat diairi secara serentak, baik pada musim
hujan maupun musim kemarau. Akan tetapi, di bagian selatan Comal, lahan sawah
hanya dapat diairi secara bergiliran, baik pada musim hujan maupun musim
kemarau.
Ketika van Moll melaksanakan penelitian di daerah
Comal, masih banyak lahan pertanian yang dikuasai masyarakat desa secara
komunal. Sistem penguasaan tanah ini melahirkan dua kategori pemilikan tanah.
Menurut pola dasar susunan masyarakat desa pada masa tersebut, warga resmi
masyarakat desa terdiri dari orang-orang keturunan para pendiri desa (cikal bakal) dan hanya mereka yang
berhak mengerjakan tanah komunal.
Setelah penelitian van Moll, produksi pertanian dan
kodisi masyarakat desa di daerah Comal telah mengalami perubahan yang amat
besar. Selama tahun 1920-an industri gula dan penanaman tebu di daerah ini
telah mencapai masa puncak perkembangannya. Meskipun demikian, harga gula di
pasaran internasional turun secara drastis di masa depresi tahun 1930-an dan
produksi gula di daerah Comal juga sangat menurun di masa tersebut. Di samping
itu, pendudukan tentara jepang dan revolusi kemerdekaan di tahun 1940-an sangat
besar pengaruhnya terhadap perubahan sosial ekonomi di daerah bekas Distrik
Comal.
- Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang diatas dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana penggunaan dan pemilikan lahan pada masa
van Moll ?
2.
Berapa biaya usaha tani dan keuntungannya pada masa
itu ?
3.
Bagaimana hubungan kerja dan perubahan teknis pada
tahap produksi ?
- Tujuan Makalah
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui penggunaan dan pemilikan lahan pada
masa van Moll.
2.
Untuk mengetahui biaya usaha tani dan keuntungannya
pada masa itu.
3.
Untuk
mengetahui hubungan kerja dan perubahan
teknis pada tahap produksi.
BAB II
PEMBAHASAN
- Penggunaan
dan Pemilikan Lahan Pada Masa van Moll
Pada masa tersebut dari buku laporan van Moll. Data pada
table 1 berasal dari daftar data tingkat desa yang terlampir pada jilid 2 buku
laporan van Moll. Menurut data ini, 8.050 hektar (50%) lahan di daerah Comal
merupakan lahan pertanian, 3.274 hektar (20%) lahan pekarangan dan kebun, dan
1.351 hektar (8%) lahan lain, seperti jalan. Akhir tahun 1904 distirk Comala, pada lahan beririgasi, lebih
dari 80% digunakan untuk padi, sedangkan sisanya (20%) digunakan untuk
penanaman tebu. Namun demikian, pengaruh produksi tebu terhadap penggunaan
lahan di daerah ini ternyata lebih besar dari yang terbayang dalam angka
tersebut.
Pada masa itu, padi sudah merupakan tanaman pokok selama
musim hujan. Oleh karena itu, tanaman palawija pada umumnya dihasilkan pada
musim kemarau sebagai kelanjutan dari penanaman padi atau penanaman tebu. Jenis
tanaman palawija terpenting diantaranya jagung, ubi kayu, ketela rambat, bengkuang,
kedelai, kacang tanah, dan sebagainya.
Dipandang dari segi sejarah, pada masa tersebut, produksi
pertanian dan masyarakat desa di daerah Comal sedang mengalami perubahan yang
sangat drastis. Perubahan ini
diakibatkan oleh pertumbuhan industri gula, perluasan penanaman tebu, dan
proyek pengairan Kali Comal Pemerintah Hindia Belanda yang berkaitan erat
dengan perkembangan industri gula. Penyelesaian proyek pembangunan tersebut
pada 1906, sangat berpengaruh pula terhadap produksi tanaman pangan dan
kehidupan petani di daerah ini.
Perluasan penanaman tebu menyebabkan terjadinya persaingan
penggunaan lahan untuk produksi pada yang menimbulkan berbagai konflik sosial
antara pabrik gula dan petani setempat. Untuk meringankan ketegangan seperti
itu, diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan tanah melalui pembangunan
fasilitas pengairan, perbaikan mutu lahan, dan sebagainya. Hal-hal demikian
menjadi masalah pokok yang harus diselesaikan demi perkembangan daerah industri
gula.
Di adakan perluasan lahan sawah didaerah distrik Comal
selama satu abad mulai tahun 1830. Meskipun produksi padi meningkat karena
perluasan sawah tersebut, tetapi jumlah penduduk di daerah ini juga sangat
bertambah. Akibatnya, luas areal sawah per kapital penduduk sangat menurun. Sementara
itu, luas penanaman tebu mulai meloncat sejak akhir abad ke-19 dari 334 hektar
pada 1890, kemudian 775 hektar pada 1900, sampai 1.670 hektar pada 1920.
Setelah perluasan lahan sawah tersebut, proses pembukaan lahan pertanian baru
hamper berhenti pada akhir abad ke-19, karena cadangan tanah liar di wilayah
distrik Comal sudah habis. Dampaknya, jumlah rumah tangga tidak bertanah mulai
bertambah sejak awal abad ke-20.
Ketika van Moll melaksanakan penelitian di daerah Comal,
masih banyak lahan pertanian yang dikuasai masyarakat desa secara komunal. Sistem
pengusaan tanah ini melahirkan dua kategori pemilikan tanah, yaitu tanah komunal
dan tanah perorangan. Pada umumnya,
penguasaan tanah secara komunal merupakan sistem baku dalam penguasaan lahan
pertanian pada masa tersebut. Sedangka tanah hak perorangan (yasan) adalah lahan pertanian baru yang
dibuka oleh seseorang dan biasanya terletak di pinggiran wilayah desa. Oleh
karena itu,kadang kala sistem pengairan tanah yasan ini tidak baik atau sering terrkena banjir pada musim hujan.
Penguasaan tanah komunal ini dibagikan kepada setiap rumah
tangga yang menjadi warga masyarakat desa, karena mereka merupakan unit usaha
untuk mengerjakan tanah tersebut. Pada zaman van Moll terdapat tiga macam cara
pembagian tanah, yaitu :
a)
Masing
masing rumah tangga setiap tahun mendapat bagian yang berbeda. Cara pembagian
tahunan ini dilaksanakan di 22% areal tanah komunal;
b)
Masing-masing
rumah tanga mendapat bagian berbeda setiap dua tahun atau lebih. Cara pembagian
ini berlaku untuk 41% luas areal tanah komunal;
c)
Masing-masing
rumah tangga mendapat bagian tanah tetap semasa hidup kepala rumah tangganya
atau selama tidak terjadi sesuatu yang mengharuskan adanya pembagian kembali
tanah komunal kepada warga masyarakat desa. Sistem bagian tetap ini diterapkan
untuk 37% luas tanah komunal.
- Biaya
Usaha Tani dan Keuntungannya
’s Jacob dan van Moll menguraikan hubungan antara
biaya dan keuntungan produksi padi. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa
pemilik tanah besar memakai banyak tenaga buruh untuk usaha taninya. Sedangkan
usaha petani kecil lebih tergantung pada tenaga keluarga sendiri. Keaneragaman
usaha tani tersebut meyebabkan kesulitan untuk mengukur biaya dan keuntungan
dalam proses produksi padi.
Faktor utama dalam perhitungan biaya produksi padi
ialah nilai imbalan jasa kerja, yaitu upah buruh dan imbalan untuk tenaga
keluarga sendiri, karena sarana produksi seperti pupuk, obat-obatan atau mesin
belum dipakai pada masa penelitian van Moll. Adapun tingkat upah buruh, di daerah
Comal ada beberapa macam standar, satu di antaranya ialah imbalan kepada buruh
tetap yang terus dipakai selama satu musim tanam (6 bulan). Pemilik tanah besar
memakai buruh tetap semacam ini rata-rata satu orang untuk setiap tiga bau
sawah. Pada kasus ini, seorang buruh diberi imbalan sebagai berikut :
a)
Tujuh pikul
(= 432 kg) padi setelah panen atau uang muka senilai satu gulden untuk sepikul
padi.
b)
Setiap hari
disediakan tiga kali makan di sawah. Bekal ini bernilai 2 kati (= 1,2 Kg)
beras.
c)
Setiap hari
diberi rokok senilai satu sen dan makanan ringan, juga senilai satu sen.
d)
Pakaian
kerja yang terdiri dari celana pendek (katok),
baju, dan topi.
e)
Sebuah
cangkul (pacul)
Apabila
memakai buruh tetap semacam ini, dipakai
pula seorang buruh wanita untuk mempersiapkan makanan dan membawanya ke sawah.
Buruh wanita ini diberi upah 3,75 gulden per bulan.
Jenis
tenaga buruh lain dalam produksi padi ialah buruh harian yang dipakai untuk
setiap tahap kerja. Banyaknya tenaga dan tingkat upah rata-rata mereka menurut
jenis kerja dihitung sebagai berikut :
1)
Untuk
menyebar benih di persemaian diperlukan dua orang laki-laki per bau sawah.
Mereka mendapat fasilitas dua kali makan, teh, rokok, sirih dan lain-lain.
Semuanya bernilai 17 sen per orang.
2)
Untuk
mencangkul diperlukan 10 orang laik-laki per bau sawah. Mereka menerima upah 10
sen per hari per orang, ditambah fasilitas sekali makan dan rokok yang bernilai
satu sen.
3)
Untuk
memungut, mengikat, mengangkut, dan membagikan semaian padi, diperlukan 7 orang
laki-laki per bau sawah. Mereka menerima satu sen upah per 10 ikatan semaian
dan dua kali makan.
4)
Untuk
mengikat, mengeringkat, dan menyimpan padi yang sudah dipanen, diperlukan
beberapa orang. Mereka menerima upah bagi dan fasilitas sekali makan setiap
hari (van Moll & ’s Jacob 1913: 30-31).
Meskipun
bentuk upah atau imbalan sangat bervariasi menurut jenis kerja, upah rata-rata
pada proses produksi padi dapat dihitung 10 sen per hari ditambah sekali makan
dan rokok senilai satu sen. Secara keseluruhan upah harian ini bernilai 12 atau
12,5 sen per orang per hari.
Untuk tenaga keluarga, tidak terdapat standar
pengupahan tertentu. Menurut kebiasaan metode ilmu ekonomi pertanian, taraf
upah buruh diterapkan pula untuk menghitung nilai tenaga keluarga yang ternyata
tidak diupah. Namun demikian ’s Jacob memakai biaya hidup minimum sebagai
standar untuk mengukur nilai tenaga keluarga petani. Menurut perhitungannya,
biaya hidup keluarga seorang petani rata-rata bernilai 25 sen per hari. Oleh
karena itu, menurut asumsi ’s Jacob, standar biaya pemakaian seorang tenaga
keluarga dengan 5,5 jam kerja untuk pengolahan sawah dan 7 jam kerja untuk
jenis kerja lain juga bernilai 25 sen.
Dengan demikian
angka-angka tersebut dapat diperkirakan bahwa pengeluaran dan penerimaan
usaha tani padi selama satu tahun (dua kali panen) sebagai berikut; karena rata-rata hasil produksi padi per
hektar tercatat 39,3 pikul (2.426kg) pada musim hujan dan 34,4 pikul (2.123kg)
pada musim kemarau dengan nilai 2,5 gulden/kg, maka penerimaan kotor usaha tani
dihitung 184 gulden per tahun. Setelah dipotong dua kali biaya tersebut, 111
gulden untuk usaha tani yang memakai tenaga hewan atau 128 gulden untuk usaha
tani yang memakai tenaga manusia, penerimaan bersih diperkirakan 73 gulden
(jika memakai tenaga hewan) atau 56 gulden (tanpa tenaga hewan).
Di bawah ini diuraikan usaha tani yan memakai tenaga
buruh upahan dengan asumsi taraf upah mereka senilai 10 sen ditambah sekali
makan dan rokok. Dalam uraian ini dianggap upah buruh dibayar harian meskipun
dalam kenyataan ada usaha tani yang memakai buruh tetap.
Apabila upah buruh dihitung 12,5 sen per hari maka
pengeluaran biaya mencapai separuh dari usaha tani yang hanya memakai tenaga
keluarga. Jumlahnya 42 gulden untuk sekali tanaman atau 84 gulden per tahun.
Apabila biaya ini dipotong dari penghasilan kotor senilai 184 gulden maka
pendapatan bersih mereka menjadi 100 gulden. Dengan kata lain, pendapatan
mereka rata-rata 40% lebih tinggi dari pendapatan pemilik sawah yang seluruh
sawahnya digarap orang lain melalui perjanjian maro.
Dari uraian-uraian tersebut dapat dikemukakan
perbandingan keuntungan per hektar dari masing-masing jenis usaha tani, sebagai
berikut :
1)
Petani yang
memiliki kerbau dan memakai tenaga buruh untuk seluruh tahap kerja mendapat
keuntungan 100 gulden per tahun. Jenis usaha tani ini boleh disebut ”petani
pengusaha”
2)
Pemilik
tanah yang seluruh sawahnya digarap orang lain melalui perjanjian maro mendapat
keuntungan 72 gulden per tahun, sedangkan pihak penggarap mendapat 64 gulden.
3)
Petani
pemilik yang mengerjakan sawahnya dengan tenaga
keluarga sendiri, kecuali buruh tanam dan panen padi, mendapat
keuntungan rata-rata 138 gulden per tahun. Namun demikian, luas usaha mereka
rata-rata 0,53 hektar saja sehingga pendapatan mereka jauh lebih rendah dari
angka tersebut.
Sementara
itu, pendapatan buruh tani bergantung pada banyaknya hari kerja. Walaupun
diasumsikan mereka bekerja 230 hari per tahun, pendapatan mereka hanya 29
gulden.
- Hubungan
Kerja dan Perubahan Teknis Pada Tahap Produksi
Perubahan macam apa yang pernah terjadi sejak zaman
van Moll dalam pola dan hubungan kerja produksi padi di daerah ini? Bagaimana
pengaruh pelaksanaan ”revolusi hijau” terhadap cara produksi padi? Di bawah ini
masalah tersebut akan dibahas untuk setiap tahap kerja sekaligus diperhatikan
pula perbandingannya dengan produksi padi di Jepang.
1)
Persiapan
benih padi
Sebagaimana
sudah dijelaskan, pada masa sekarang pilihan jenis padi yang dapat dipakai
petani jauh lebih terbatas dari zaman van Moll. Penelitian ini tidak dapat
mengumpulkan informasi rinci tentang proses introduksi setiap jenis padi unggul
(HYV) dan pola tingkah laku para petani dalam pemilihan jenis padi.
Bagaimanapun juga, prakarsa pihak pemerintah dalam proses introduksi jenis padi
jauh lebih kuat daripada zaman Moll.
2)
Persemaian
Secara
garis besar tidak ada perubahan berarti sejak zaman van Moll dalam bentuk lahan
persemaian dan proses persiapannya dengan bajak atau cangkul. Pekerjaan ini
pada umumnya dilakukan dengan tenaga keluarga.
3)
Pengolahan
lahan
Tidak
terjadi perubahan besar dalam pola kerja, seperti pada tahap membajak,
menyisir, membuat pematang, mencangkul, dan sebagainya. Pada umumnya pengolahan
sawah tetap tergantung pada tenaga kerbau seperti di zaman van Moll, meskipun
sebagian petani mulai memakai traktor. Akan tetapi, dari segi susunan tenaga
kerja telah terjadi perubahan yang mencolok.
Pekerjaan
membajak dengan tenaga kerbau biasanya dilakukan
mulai pukul 06.00-11.00 kemudian diteruskan lagi mulai pukul 14.00-17.00. waktu
kerja ini hampir tidak berubah sejak zaman van Moll. Upah untuk pekerjaan
membajak atau me-nyisir dibayarkan
dengan sistem borongan. Tingkat upah rata-rata antara Rp. 16.000-20.000 per bau
(=0,7 hektar).
Tersebarnya
pekerja upahan pada tahap tersebut merupakan prasyarat untuk introduksi mesin
traktor sebagai pengganti tenaga kerbau. Sebagaimana sudah dijelaskan, di kedua
desa penelitian sudah ada petani yang mengontrak pekerjaan ini kepada pemilik
traktor. Traktorisasi pernah terjadi juga di jepang pada 1950 dan 1960-an, tetapi
pola introduksi dan penyebarannya berbeda dengan jawa. Di pedesaan jepang
setiap keluarga petani membeli traktor (cultivator
menurut istilah di Jepang) sebagai pengganti tenaga hewan. Sedangkan di Jawa
hanya pedagang atau petani kaya saja yang mampu membeli traktor. Mereka memakai
mesin itu untuk pekerjaan kontrak dengan petani biasa.
Pekerjaan
kontrak semacam ini tidak mungkin menyebar jika tidak membawa keuntungan yang
memadai. Di daerah penelitian, tingkat upah kontrak traktor jauh lebih murah
daripada upah kontrak dengan pemelihara kerbau. Hal ini terjadi karena
pemeliharaan traktor tidak membutuhkan banyak waktu dan keterampilan khusus.
Lagi pula, masa kerjanya tidak terbatas seperti kerbau. Oleh karena itu,
kemungkinan besar di masa mendatang pemakaian traktor untuk mengolah sawah akan
semakin luas.
4)
Pemungutan dan
penanaman semaian
Sampai
sekarang sebagian besar pekerjaan ini dilaksanakan oleh tenaga wanita. Lagi
pula, hampir tidak ada petani yang menyelesaikan tahap kerja ini hanya dengan
tenaga keluarga sendiri.
5)
Pemupukan
dan pencegahan hama
Berbeda
dengan zaman van Moll, kini hampir semua petani terbiasa memakai pupuk kimia
dan obat-obatan. Di pedesaan Jepang, petani sudah lama memakai banyak pupuk
alam, seperti ampas kedelai, sebelum introduksi pupuk kimia buatan pabrik.
6)
Pengairan
Terkecuali
di beberapa tempat sawah tadah hujan, keadaan pengairan di daerah ini cukup
memadai baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. Persedian air di
setiap petak sawah juga lebih stabil dari pada zaman van Moll. Pengaturan
persedian air di setiap petak sawah dilakukan masing-masing keluarga petani.
7)
Penyiangan
Sebagian
besar petani menyiangi sawaah dua kali, yaitu sebulan sebelum dan dua bulan
setelah menanam padi. Namun, ada pula petani yang menyiangi sawahnya sampai
tiga kali. Pekerjaan ini dilakukan oleh tenaga keluarga ditambah tenaga buruh,
tetapi ada juga petani yang hanya memakai tenaga buruh.
8)
Pengawasan
tanaman
Ada
perbedaan besar di antara keluarga petani dalam cara pengawasan tanaman padi
menjelang panen. Ada yang sering pergi ke sawah untuk tujuan tersebut, ada pula
yang jarang berbuat demikian. Pada penelitian, kami tidak menemui petani yang
membangun dangau di pinggir sawah seperti dicatat laporan van Moll. Pengawasan
tanaman selalu dilakukan oleh tenaga keluarga sendiri.
9)
Pemotongan
padi dan proses pascapanen
Sebagaimana
sudah diterangkan, pada zaman van Moll pekerjaan panen padi dilakukan menurut
sistem tradisional (derepan). Setiap
peserta panen mendapat bagian hasil padi menurut proporsi tertentu (bawon). Apakah telah terjadi perubahan
dalam lembaga kerja ini setelah timbulnya ”revolusi hijau”? Sebelum menjawab
pertanyaan ini, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai perubahan proses kerja
panen sendiri.
BAB III
PEUTUP
- Kesimpulan
Masih banyak lahan pertanian yang dikuasai masyarakat desa
secara komunal. Sistem pengusaan tanah ini melahirkan dua kategori pemilikan
tanah, yaitu tanah komunal dan tanah
perorangan. Pada umumnya, penguasaan tanah secara komunal merupakan
sistem baku dalam penguasaan lahan pertanian pada masa tersebut. Sedangka tanah
hak perorangan (yasan) adalah lahan
pertanian baru yang dibuka oleh seseorang dan biasanya terletak di pinggiran
wilayah desa. Faktor
utama dalam perhitungan biaya produksi padi ialah nilai imbalan jasa kerja,
yaitu upah buruh dan imbalan untuk tenaga keluarga sendiri, karena sarana
produksi seperti pupuk, obat-obatan atau mesin belum dipakai pada masa
penelitian van Moll. Adapun tingkat upah buruh, di daerah Comal ada beberapa
macam standar, satu di antaranya ialah imbalan kepada buruh tetap yang terus
dipakai selama satu musim tanam (6 bulan).
- Saran
Setalah
dianalisis buku Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern dengan tema judul Produksi Pertanian didaerah
Comal, dan makalah ini dibuat oleh penulis dengan segala kemampuan dan keterbatasan,
maka dari itu,penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan
sehingga untuk mencapai kesempurnaan itu diharapkan agar pembaca dapat memberi
saran dan kritik untuk membangun dan sempurnanya makalah ini. Dengan sepenuh
hati, penulis memohon kepada Allah semoga makalah ini bisa bermanfaat buat pembaca
serta penulis bahkan kepada khalayak umum. Akhirnya saya ucapkan terimakasih
banyak atas saran dan kritiknya semoga makalah ini bisa bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik
1992. Statistik Indonesia 1991. Jakarta: Biro
Pusat Statistik.
Kano, Hiroyoshi. dkk. 1996. Di Bawah Asap Pabrik Gula. Masyarakat Desa di
Pesisir Jawa Sepanjang Abad ke-20. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
